Minggu, 01 Februari 2009

Menyiasati Masalah Pemeliharaan Lingkungan HidupDaur Ulang Limbah Makanan

Menyiasati Masalah Pemeliharaan Lingkungan HidupDaur Ulang Limbah Makanan

Brainstorming of A. Nanang Baskara, S. Si

APA yang terjadi di Negeri Sakura memang jauh berbeda dengan negara kita tercinta. Di sana semua orang sudah teramat menjiwai pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sekitar. Mungkin apa yang diterapkan di sana dapat menjadi cerminan bagi kita tentang bagaimana seharusnya kita memelihara alam.
Undang-undang Daur Ulang Makanan telah diterapkan di Jepang sejak Mei 2001. Di dalamnya telah diatur kewajiban para produsen makanan dan semua jenis usaha yang berhubungan dengan makanan, termasuk industri retail dan industri jasa katering untuk mendaur ulang sedikitnya 20% dari total limbah sisa makanan dan masakan mereka.
Kita melihat ke poin-poin mendasar pada undang-undang tersebut dan mendapati beberapa usaha daur ulang yang nyata dan telah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasan ini, kita semua dapat melihat bagaimana langkah-langkah seputar penanggulangan masalah lingkungan hidup dapat benar-benar membantu bidang ekonomi.
Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang telah memperkirakan, limbah makanan negara tersebut sekira 19,4 juta ton per tahun. Ketika angka ini diurai, terdapat perincian bahwa limbah industri makanan — seperti yang dihasilkan pabrik makanan — memiliki angka 3,4 juta ton dan limbah makanan dari industri jasa makanan lainnya seperti hotel dan restoran, serta dari distributor seperti supermarket mencapai 6 juta ton.
Sekira 10 juta ton sisanya terdiri dari limbah makanan yang berasal dari rumah penduduk. Diperkirakan pula, 48% dari limbah makanan tersebut masuk ke dalam kategori limbah yang dapat didaur ulang, tetapi angka rata-rata daur ulang makanan masih termasuk rendah, yakni 9%.
Untuk menanggulangi situasi ini, Undang-undang Daur Ulang Makanan dikeluarkan pada tahun 2001. Undang-undang ini memotivasi dilakukannya proses daur ulang dan reduksi pada limbah industri makanan, juga terhadap limbah makanan umum yang diproduksi oleh industri makanan terkait lainnya.
Di bawah undang-undang ini, semua industri yang terkait dengan makanan berkewajiban mengurangi jumlah limbah makanan mereka sampai dengan 20% selama periode tahun fiskal 2001-2006 melalui berbagai cara seperti mengontrol jumlah limbah, memproses daur ulang, dan memproses pengeringan limbah. Dalam beberapa kasus, sanksi dapat diberikan kepada industri-industri yang tidak taat terhadap undang-undang yang ada yang menyebabkan jumlah limbah makanan per tahunnya mencapai lebih dari 100 ton.
Satoshi Yanagisawa, Kepala Bagian Kementrian untuk Perencanaan Daur Ulang menjelaskan bahwa sementara ini ada tendensi untuk lebih fokus ke arah proses daur ulang sebagai cara utama mengurangi limbah. Di lain pihak, undang-undang menetapkan bahwa prioritas utama sebenarnya adalah untuk membatasi turunan limbah dengan memikirkan pola baru selama proses produksi dan pendistribusian berlangsung. Prioritas selanjutnya adalah mendaur ulang limbah menjadi pupuk dan makanan ternak atau menjadi bahan mentah, seperti oli, minyak, dan methane. Pada akhirnya, bila proses daur ulang bukan termasuk dalam pilihan, limbah tersebut harus dikeringkan.
Undang-undang ini dirancang untuk memasyarakatkan pengurangan jumlah limbah dengan mengizinkan industri-industri yang ada untuk memilih dan memadukan metode yang dianggap paling baik dan efisien dari pilihan-pilihan yang ada.
Usaha pemerintah Jepang untuk menyosialkan undang-undang lingkungan hidup tersebut di luar dugaan mendapat sambutan serius dari kalangan pengusaha, khususnya industri makanan.
Jauh sebelum Undang-undang Daur Ulang Limbah Makanan ini dikeluarkan, masyarakat Jepang telah mengenal teknik pemisahan sampah dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sampah-sampah yang ada dibagi dan dipisah-pisah atas sampah kering (untuk dibakar), sampah basah (sisa makanan dan proses memasak), kertas, plastik, botol, dan kaleng.
Pengumpulan dan pengambilan sampah tersebut pun tidak sembarangan, melainkan terjadwal sesuai dengan jenis sampahnya. Sampah basah sisa makanan dan proses memasak biasanya dijual kepada petani dan peternak sebagai bahan pupuk atau makanan ternak. Sampah kering dibawa ke tempat pembakaran sampah. Kertas-kertas, plastik, botol, dan kaleng dibawa untuk didaur ulang. Dengan demikian, budaya mendaur ulang pada masyarakat Jepang sebenarnya sudah tertanam cukup lama. Hal tersebut ditambah dengan tingkat kesadaran atas perlunya menjaga lingkungan hidup serta disiplin diri yang tinggi pada masyarakatnya. Oleh karena itu, pemerintah Jepang tidak menemui banyak hambatan atas disahkannya undang-undang baru tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar